Persoalan
mengenai perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi
kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan
sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban
dari sistem tersebut. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). sebagaimana
termuat dalam Al-qur’an memperlakukan baik individu perempuan dan laki-laki
adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu perempuan dan
laki-laki tersebut. Dalam perspektif normativitas Islam, tinggi rendahnya
kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan
ketakwaannya kepada Allah swt. Allah memberikan penghargaan yang sama dan
setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan
atas semua amal yang dikerjakannya.
Kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga, bukan berarti
memposisikan laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Memperlakukan
laki-laki dan perempuan secara sama dalam semua keadaan justru menimbulkan bias
jender. Memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan dalam kerja rumah
tangga pada satu keadaan, misalnya, suami juga berkewajiban mengurus anaknya,
sama halnya istri mempunyai kewajiban mengurus anaknya. Artinya kewajiban
mengurus anak tidak mutlak menjadi kewajiban istri semata, tetapi merupakan
kewajiban bersama. Sementara itu pemikiran Islam tradisional yang direfleksikan
oleh kitab-kitab fiqh secara general memberikan keterbatasan peran perempuan
sebagai istri dan ibu. Menurut pemikiran Islam tradisional tersebut bahwa
prinsip utamanya adalah bahwa “laki-laki adalah kepala keluarga” dan
bertanggung jawab terhadap persoalanpersoalan luar rumah, sedangkan perempuan
sebagai istri, bertanggung jawab untuk membesarkan anak dan pelayanan-pelayanan
domestik lainnya. Perbedaan ini menjadi titik tolak ukur dari perbedaan peran
laki-laki dan perempuan yang didukung pula dengan Surat (An-nisa:34)
Konsep
penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas hubungan kaum kaum perempuan
dan laki-laki adalah membedakan antara konsep sex (jenis kelamin) dan konsep
gender. Pemahaman dan pebedaan antara kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam
melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang
menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara
perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender
inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman
atas konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir
suatu analis gender. Istilah gender digunakan berbeda dengan sex. Gender
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
sosial-budaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak
berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia
dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis
lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial,
budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.
Ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni:
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak
(burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Dalam pergaulan
sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan gender, ada nilai
tatakrama dan norma hukum yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Setiap
orang seolah-olah dituntut mempunyai perasaan gender (gender feeling) dalam
pergaulan, sehingga jika seseorang menyalahi nilai, norma dan perasaan tersebut
maka yang bersangkutan akan menghadapi risiko di dalam masyarakat.
Sayyid
Qutb menegaskan bahwa tentang kelipatan bagian kaum pria dibanding kaum
perempuan dalam hal harta warisan, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an,
maka rujukannya adalah watak kaum pria dalam kehidupan, ia menikahi wanita dan
bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya selain ia juga bertanggung jawab
terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya itu. Itulah sebabnya
ia berhak memperoleh bagian sebesar bagian untuk dua orang, sementara itu kaum
wanita, bila ia bersuami, maka seluruh kebutuhannya ditanggung oleh suaminya,
sedangkan bila ia masih gadis atau sudah janda, maka kebutuhannya terpenuhi
dengan harta warisan yang ia peroleh, ataupun kalau tidak demikian, ia bisa
ditanggung oleh kaum kerabat laki-lakinya. Jadi perebedaan yang ada di sini
hanyalah perbedaan yang muncul karena karekteristik tanggung jawab mereka yang
mempunyai konsekwensi logis dalam pembagian warisan.